Kedudukan Hukum Perburuhan
Oleh : Endang Rokhani
Pengantar
Dalam keseharian kita sering mendengar “sudah ada
hitam di atas putih belum” atau “wah kalau sudah ada hitam di atas putih….”. Yang
dimaksudkan dalam percakapan tersebut adalah apakah sudah ada perjanjian
tertentu? Atau wah kalau sudah ada perjanjiannya….pembicaraan ini
memperlihatkan bahwa jika sudah ada perjanjian tertulis (hitam di atas putih)
maka keadaan yang sedang dibicarakan tidak bisa diperlakukan bebas tetapi harus
seperti apa yang telah diperjanjikan, atau orang lain tidak dapat terlibat
sembarangan karena sudah ada perjanjian yang mengikat para pihak.
Atau kalau dikalangan para pekerja/buruh yang
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merasa jengkel ketika menghadapi
masalah, misalnya pemutusan hubungan kerja (PHK) pengurus serikat
pekerja/serikat buruhnya menanyakan
kepadanya, penyelesaian apa yang diinginkan.
Kejengkelan ini dapat dimaklumi karena mungkin
anggota tersebut tidak tahu, aturan hukum
apa yang mengatur masalah PHK tersebut. Pemahaman tentang hukum apa yang
mengatur masalah hubungan kerja/hubungan
industrial ini sangat penting agar tidak terjadi tindakan yang merugikan diri
sendiri, terutama yang berkaitan dengan masalah hukum, khususnya dalam dunia
kerja.
Tinjauan Hukum
Menurut
isinya hukum dapat dibagi dalam hukum privat (Hukum sipil) dan hukum Publik (hukum Negara). Hukum Privat
adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan
orang yang lain, dengan menitik beratkan
kepada kepentingan perseorangan (mengatur hubungan antar warga negara).
Dalam arti yang sempit hukum
privat adalah hukum perdata. Sedangkan hukum
Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat
perlengkapannya atau hubungan antara
Negara dengan perseorangan (hubungan
antara Negara dengan warga Negaranya) salah satu hukum publik yang sangat dikenal
oleh masyarakat adalah hukum pidana.
Dimana hukum perburuhan berada? Mengenai pertanyaan
ini, sebenarnya masih terjadi perdebatan untuk menjawab pertanyaan ini.
Ada yang mengatakan bahwa hukum
perburuhan adalah hukum publik,
hal ini dipresentasikan oleh adanya penetapan upah minimum oleh pemerintah,
besaran pesangon dalam yang ditetapkan dalam undang-undang ketika terjadi
PHK ataupun adanya mediator dari
pemerintah ketika terjadi perselisihan hubugnan industrial/perburuhan. Tetapi
ada juga yang mengatakan bahwa hukum perburuhan murni hukum perdata, karena diperkenankannya
buruh dan majikan membuat perjanjian kerja sendiri, baik secara kolektif maupun
perorangan. Dimana isi perjanjian kerja dapat ditetapkan oleh para pihak, tentu
saja sepanjang tidak melanggar ketentuan Undang-undang, kesusilaan dan norma
agama.
Sementara itu jika ditinjau dari sifat Undang-undang
No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial menetapkan bahwa hukum acara yang
digunakan adalah hukum acara perdata.
Maka jika dilihat dari kedua hal tersebut, jelas
bahwa hukum perburuhan lebih cenderung berada pada hukum privat atau hukum
perdata, yaitu hukum yang megatur hubungan antar warga Negara.
Pelaksanaannya
Pelanggaran terhadap norma hukum pidana pada umumnya
segera diambil tindakan oleh
pengadilan tidak harus ada pengaduan
dari pihak yang dirugikan. Setelah terjadi pelanggaran hukum pidana, maka alat
– alat perlengkapan Negara seperti Polisi, Jaksa dan Hakim segera bertindak.
Sedangkan korban ataupun orang yang
melihat adanya tindak pidana cukup
melaporkan saja kepada pihak yang berwajib (polisi) tentang tindak pidana yang terjadi. Pihak yang
melaporkan (yang dirugikan) menjadi saksi dalam perkara itu, yang menjadi
penggugat adalah penuntut umum (jaksa).
Jadi kepentingan korban sudah dilakukan oleh Negara yang dijalankan oleh Jaksa
penuntut umum.
Sedangkan pelaksanaan terhadap norma hukum perdata
baru diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan pihak yang merasa dirugikan dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan. Negara
tidak akan melakukan tindakan apapun jika warga Negara yang merasa dirugikan
kepentingannya tidak mengajukan gugatan yang disampaikan melalui lembaga
Pengadilan.
Konsekwensi
sebagai Hukum Perdata
Cerita yang disampaikan dalam Pengantar di atas,
sebenarnya memperlihatkan kesadaran masyarakat akan kekuatan hukum dari sebuah
perjanjian (hitam di atas putih). Dimana si Pembicara mempertanyakan tentang
landasan hukum (hitam di atas putih). Jika mungkin cerita di atas kalimatnya di
panjangkan menjadi “ sudah ada hitam di atas putih belum, kok kamu sudah
menyerahkan rumah itu untuk di tempati oleh si Badu?” pada peristiwa ini Penanya memastikan bahwa
tindakan si lawan bicara sudah dilindungi oleh hukum. Sedangkan pada kaimat
berikutnya “wah kalau sudah ada hitam di atas putih, repot, mesti dirundingkan
kembali” Pada kalimat ini memperlihatkan bahwa jika telah terjadi kesepakatan
(hitam di atas putih) orang tidak mudah/tidak boleh sembarangan merubah-rubah
kesepakatan.
Sedangkan pada contoh kedua, anggota tidak menyadari
bahwa meskipun dia seorang anggota serikat pekerja/serikat buruh, dia adalah
juga warga negara yang hak keperdataanya masih melekat padanya, tidak bisa diambil alih begitu saja oleh
serikat pekerja/serikat buruh. Hak keperdataan yang dimaksud adalah hak untuk
menentukan cara penyelesaian yang diinginkan oleh yang bersangkutan dalam
masalah yang berhubungan dengan perusahaan (majikan).
Cerita di atas adalah merupakan konsekwensi dari ketentuan pasal
1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Pasal 1338 menyatakan semua persetujuan yang dibuat
secara syah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan
itu tidak dapat ditarik selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan patut.
Pasal
tersebut jika dikaitkan dengan cerita di
atas, pada contoh kalimat pertama dan kedua, pembicara mengetahui bahwa
kesepakatan adalah merupakan hukum tertinggi bagi para pihak, dan tidak bisa
sembarangan diubah tanpa kesepakatan para pihak yang membuat kesepakatan. Tentu
saja dengan pengecualian sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang.
Sedangkan pada contoh kedua, serikat pekerja/serikat buruh tidak bisa begitu
saja mengambil alih perkara yang dihadapi oleh anggotanya tanpa persetujuan
dari anggota, karena sesuai dengan ketentuan pasal 1338 KUHPer dalam hal ini
yang paling berhak memutuskan untuk adanya pengakhiran kesepakatan adalah si
anggota yang bersangkutan. Jika serikat pekerja/serikat buruh bertindak tidak
atas persetujuan dari anggota yang bersangkutan maka apa yang dilakukan oleh
serikat pekerja/serikat buruh tersebut dapat dibatalkan/ditolak oleh anggota
yang bersangkutan, karena serikat pekerja/serikat buruh bukanlah pihak dalam
kesepakatan antara anggota yang berangkutan dengan majikannya (khususnya dalam
kasus PHK,meskipun sudah ada kesepakatan bersama/PKB).
Penutup
Mengingat bahwa hubungan industrial adalah hubungan
keperdataan, maka sudah seharusnya pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh lebih teliti ketika akan mambuat
kesepakatan-kesepakatan/perjanjian. Sangat perlu untuk memperhatikan konsekwensi yang akan
timbul atas kesepakatan/perjanjian-perjanjian yang dibuat.
Sebagai pekerja/buruh jika telah menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh, jangan pernah mengambil keputusan yang terkait
dengan masalah hubungan kerja tanpa berknsultasi dengan serikat pekerja/serikat
buruhnya.
Demikianpun dalam kehidupan keseharian jangan pernah
membuat kesepakatan/perjanjian yang tidak dipahami betul maksud dan tujuannya.
Karena kekeliruan dalam membuat perjanjian/
tindakan gegabah dalam membuat perjanjian/ kesepakatan dapat
menghilangkan hak-hak Anda sebagai pekerja/buruh atau bahkan bisa kehilangan
harta yang paling berharga, atau menjadi masalah berat dikemudian hari.
Kajian Hukum Perburuhan
Reviewed by PC SPKEP SPSI BEKASI
on
April 15, 2015
Rating:
No comments: