DATANGNYA
PEDAGANG ASING DI INDONESIA
Sejak abad
XIV Indonesia telah menjadi pusat perhatian dan menarik
pedagang-pedagang luar negri, karena
kekayaan Indonesia mengenai hasil rempah-rempah seperti: lada, pala,
ketumbar, kayu manis dsb. , yang diperdagangkan oleh pedagang-pedagang dari
India, Persia, Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
Disamping
berdagang, pedagang-pedagang tersebut juga menyebarkan agama yang dianut oleh
masyarakat dari negri asalnya, misalnya : agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen
maupun Katolik.
Untuk
mendapatkan kepentingan ekonominya, pedagang-pedagang asing tersebut
menggunakan pertentangan-pertentangan yang ada antara raja-raja di wilayah
Indonesia. Perpecahan yang ada diantara raja-raja tersebut serta keunggulan
teknik yang dimiliki oleh pedagang-pedagang asing itu menyebabkan mereka selalu
kalah dalam peperangan menghadapi orang-orang asing tersebut.
Pada tanggal 22 Juni 1596 armada
Belanda berlabuh di Indonesia dibawah pimpinan Cornelis Houtman di Banten. Pada tahun 1602 dibentuk
perkumpulan dagang bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) serta
kemudian diangkat seorang Gubernur Jenderal pada tahun 1610.
Politik dalam negri VOC berdasarkan
exploitasi terhadap organisasi-organisasi
feodal yang telah ada, sehingga rakyat menderita dua macam penindasan, yaitu
dari raja-raja dan dari VOC. Timbulnya
perlawanan-perlawanan dari kaum tani yang menderita dua macam ketertindasan
tersebut serta merajalelanya korupsi di dalam tubuh VOC menyebabkan VOC
dibubarkan dan kekuasaannya dialihkan langsung kepada pemerintah Belanda pada
tahun 1800.
Pada saat itu penghisapan Belanda
terhadap Indonesia dengan cara penimbunan modal secara sederhana beserta sistem
monopolinya.
LAHIRNYA
IMPERIALISME BELANDA DI INDONESIA
Dengan ikut
sertanya kapital swasta di negri Belanda dalam penghisapan kolonial terhadap
Indonesia itu berarti suatu perpindahan yang sangat pokok dari sistem monopoli
menjadi sistem persaingan bebas. Ini berlaku sejak diadakannya perubahan
penguasaan tanah oleh pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan “domein
verklaring “ pada tahun 1870.
Berhubung dengan adanya krisis
ekonomi yang sangat hebat pada tahun 1895, maka sebagian besar
kapitalis-kapitalis swasta di negri Belanda mengalami kehancuran, sehingga
tinggal beberapa gelintir kapitalis besar yang masih bertahan hidup. Ini
menyebabkan ‘kapital finans’ berkuasa sepenuhnya (perpaduan dari kapital bank,
kapital industri dan kapital perdagangan). Dengan begitu maka zaman kapital
industri yang berdasarkan persaingan bebas berakhir dan segera disusul oleh
zaman imperialisme.
Dengan demikian kedudukan Indonesia
sejak tahun 1895 di dalam hubungan ekonomi Dunia ialah bahwa Indonesia
dijadikan tempat sumber bahan mentah, tempat penanaman modal, tempat pemasaran hasil produksi kapitalis
dunia serta sebagai sumber tenaga buruh
yang sangat murah. Dengan lahirnya imperialisme Belanda di Indonesia itulah, lahir dalam arti yang sebenarnya kaum buruh
di Indonesia.
Dengan adanya penanaman modal
industri oleh imperialis ( kapitalis monopoli tingkat tinggi) dalam
berbagai lapangan di Indonesia ( pabrik-pabrik, bengkel-bengkel, pertambangan,
transport,perkebunan, industri-industri gula, industri-industri kecil dll)
lahirlah golongan rakyat dalam masyarakat yang baru yaitu “kaum Buruh” , sebagai golongan yang
menurut kedudukan sosialnya
berkepentingan untuk menghapuskan sistem penghisapan dan penindasan yang
dijalankan oleh kaum kapitalis monopoli (imperialis) Belanda.
ZAMAN
KOLONIAL
Buruh yang menjual tenaga kerjanya
untuk mendapat upah, muncul pada dekade-dekade terakhir abad XIX, terutama di
perkebunan swasta yang berkembang di Jawa dan Sumatra. Penetrasi kapitalisme
dalam wilayah pedesaan ditunjukkan dengan hadirnya para petani yang tidak
memiliki tanah, dan bekerja pada tanah-tanah sewaan untuk mendapat upah.
Sementara itu, di kota-kota besar, seiring dengan perkembangan teknologi yang
ditancapkan kolonialisme, muncul pula bidang-bidang pekerjaan baru seperti
masinis, sopir, pegawai kantor dan sebagainya. Munculnya buruh upah ini tidak
seketika menghadirkan gerakan buruh yang terorganisir dan 'modern'. Perubahan
cara pandang, kereta api, surat kabar, dan pendidikan, menjadi elemen-elemen
penting yang membaw a perubahan pada abad XX. Orang-orang pribumi
berpendidikan, yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh pergerakan, menjadi
pemimpin atau penggerak sejumlah organisasi modern, seperti Budi Utama, Sarekat
Islam, dan sebagainya. Sebaliknya gerakan buruh, pada awalnya digerakkan oleh orang-orang
Belanda. Di Eropa pada masa itu gerakan buruh sudah dikenal secara luas dalam
masyarakat, sehingga bukan hal yang aneh lagi jika timbulnya gerakan buruh di
Jawa dipelopori oleh orang-orang Eropa. Serikat buruh pertama di Jawa didirkan
pada tahun 1905 oleh buruh-buruh kereta api dengan nama SS Bond
(Staatspoorwegen Bond). Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh
orang-orang Belanda. Pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi mayoritas
anggota (826 dari 1.476 orang). Walau begitu, orang-orang pribumi tetap tidak
memiliki hak pilih atau suara dalam organisasi. Serikat buruh ini tidak pernah
berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir pada tahun 1912. Pada
tahun 1908 muncul serikat buruh kereta api yang lain, dengan naman Vereeniging
van Spooor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (vstp) Serikat ini
memiliki basis yang lebih luas ketimbang SS Bond, Karena melibatkan semua buruh
tanpa membedakan ras, jenis pekerjaan, dan pangkat dalam perusahaan. Organisasi
ini berkembang menjadi militan, terutama sejak 1913, ketika berada di awah
pimpinan Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu juga tercatat sebagai tokoh
gerakan radikal di Jawa pada masa selanjutnya, dan sampai tahun 1920-an,
nama-nama mereka masih sering terdengar di kalangan pergerakan.
Selain kedua serikat buruh 'pelopor'
ini, masih ada sejumlah organisasi buruh yang lain, seperti Perserikatan Goeroe
Hindia Belanda (PGHB), yang didirikan pada tahun 1912; kemudian Opium
Regiebond, yang didirikan oleh buruh-buruh pabrik opium pada tahun 1915;
Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), pada tahun 1916, di bawah
pimpinan R. Sosrokardono; Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare
Werken (VIP-BOW), pada tahun 1916, yang didirikan oleh buruh-buruh pribumi pada
dinas pekerjaan umum (seperti PU sekarang), Personeel Fabriks Bond (PFB) pada
tahun 1919 di bawah pimpinan R. Mo. Surjopranoto; Sarekat Boeroeh Onderneming
(SBO), pada tahun 1924 untuk buruh-buruh perkebunan; Serikat Sekerdja
Pelaboehan dan Pelajaran, dan sejumlah serikat buruh lain dari bidang
pertambangan, percetakan, listrik, industri minyak, sopir, penjahit, dan
sebagainya. Pada tahun 1920 telah tercatat ada sekitar seratus serikat buruh
dengan 100. 000 anggota. Bertambahnya jumlah anggota dan serikat buruh dalam
waktu relatif singkat, harus dikaitkan dengan aksi-aksi propaganda yang dibuat
oleh para aktivis melalui pamflet, selebaran dan surat kabar. Rapat-rapat umum
yang dihadiri oleh orang banyak juga sering diadakan oleh para aktivis untuk
mendapat dukungan.
Pada zaman ini, VSTP tetap menjadi
serikat buruh yang memiliki anggota paling banyak, dan terhitung penting serta
militan. Di bawah pimpinan Semaun, serikat buruh ini terus memperjuangkan
kepentingan kaum buruh, seperti pembelaan hak-hak buruh, memperbaiki kondisi
kerja dan sebagainya. Dalam usahanya itu, Semaun membuat sebuah 'buku panduan'
bagi para aktivis gerakan buruh di Hindia. Para pemimpin VSTP ini, kemudian
dengan sejumlah tokoh sosialis lainnya mendirikan Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Tokoh-tokoh yang tidak setuju dengan
gagasan ini kemudian membentuk Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP)
pada tahun 1917. ISDV ini kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI) pada tahun 1920. Uraian ini setidaknya dapat memperlihatkan bahwa gerakan
buruh di Indonesia sejak awal tidak terpisahkan dari aktivitas politik, bahkan
bisa dibilang muncul secara bersamaan.
Satu hal yang tidak dapat dilupakan
adalah munculnya suratkabar sebagai orgaan (corong) masing-masing organisasi.
Pada dekade 1920-an tercatat bahwa di setiap kota besar, ada penerbitan surat
kabar, baik sebagai corong organisasi tertentu, maupun tidak. Kehidupan pers
pada masa tersebut relatif bebas, karena untuk menerbitkan surat kabar, tidak
diperlukan izin khusus dari Pemerintah Hindia Belanda, sehingga sebaliknya
pemerintah tidak dapat melakukan pembredelan. Penerbitan surat kabar menjadi
elemen yang penting dari gerakan buruh, karena masing-masing organisasi dapat
mengemukakan pandangan mereka serta melakukan perdebatan melalui sarana ini.
Para aktivis umumnya mengandalkan surat kabar baik sebagai sarana perdebatan
sesama aktivis maupun untuk mengkritik sejumlah kebijaksanaan pihak pengusaha
dan negara.
Sarekat Islam dan ISDV adalah dua
organisasi yang mendominasi kehidupan politik pada awal abad XX. Tokoh-tokoh
gerakan buruh seperti Sosrokardono, Surjopranoto, Semaun dan lainnya juga
menjadi aktivis kedua organisasi tersebut. Di antara cabang-cabang SI yang
terkenal militan adalah SI Semarang. Pada masa itu masih dibolehkan keanggotaan
ganda, sehingga Semaun misalnya, sekaligus menjadi anggota dari Sarekat Islam,
ISDV dan VSTP. Keanggotaan ganda seperti ini pada masa selanjutnya membawa
persoalan juga, sehingga mulai diperkenalkan adanya displin partai, yang
mengharuskan anggotanya memilih salah satu organisasi saja. Pada bulan Desember
1919 diadakan konferensi serikat buruh di Jawa, dan sebagai hasilnya muncul
Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) yang menjadi badan sentral
organisasi buruh yang ada. Badan ini dipimpin oleh Semaun sebagai ketua,
Suryopranoto sebagai wakil, dan H. A. Salim sebagai Sekretaris. Organisasi ini
terhitung sebagai federasi serikat buruh pertama di tanah Hindia. Konflik di
dalam PPKB antara golongan kiri dan Islam --atau lebih tepat antara SI dan
ISDV/ PKI tidak dapat dihindari dan terjadi perpecahan. Golongan kiri
meninggalkan PPKB dan mendirikan Revolutionair Vakcentrale (RVC). Federasi
serikat buruh ini terdiri dari 14 organisasi, termasuk VSTP. Serikat buruh
lainnya seperti PPPB, PFB, dan VIP-BOW, tetap bergabung dalam PPKB. Perpecahan
ini tidak berlangsung lama karena masing-masing pihak merasakan perlunya sebuah
organisasi pusat yang kuat untuk membela kepentingan kaum buruh. Pada bulan
September 1922, kedua federasi itu bergabung kembali di bawah naungan
Persatoean Vakbonden Hindia (PVH). Pada tahun 1922, PVH menyatakan bahwa
anggotanya terdiri atas 18 serikat buruh dengan 32. 120 buruh.
Aksi-aksi yang dilakukan gerakan
buruh pada masa ini, amat beragam. Pada masa 1920-23, aksi pemogokan
berlangsung di berbagai tempat. Pemogokan besar terjadi pada tahun 1920, yang
dilakukan oleh PFB. Buruh-buruh industri gula melalui organisasi ini menuntut
kenaikan upah. Pada bulan Agustus, PFB mengumumkan bahwa akan terjadi pemogokan
besar kepada pihak pengusaha. Walaupun mereka telah memberikan ultimatum, pihak
pengusaha mengabaikan tuntutan mereka, sehingga pemogokan tetap berlangsung.
Gubernur Jendral cepat mengambil tindakan, dengan melarang kegiatan pemogokan
itu. Ia menuduh bahwa PFB melakukan pemogokan itu bukan untuk menuntut
perbaikan kondisi kerja, melainkan memiliki 'maksud-maksud politik'. Pemogokan
ini berakhir tanpa terjadi perubahan berarti dalam kesepakatan.
Sejak pertengahan 1921 terjadi
resesi ekonomi di Hindia Belanda, dan hal itu ditanggapi oleh pihak pengusaha
dengan menurunkan tingkat upahnya. Di Surabaya pada tahun 1921 terjadi
pemogokan buruh-buruh pelabuhan. Mereka menuntut kenaikan upah yang dikurangi
oleh pihak pengusaha. Buruh-buruh yang umumnya berasal dari Madura tidak mau
bekerja sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Mereka hanya duduk di sepanjang Kali
Mas sambil membicarakan pengurangan upah mereka. Pengusaha kemudian mencari
alternatif untuk mengatasi persoalan, tidak dengan menaikkan upah yang dituntut
oleh kaum buruh, melainkan mendatangkan tenaga kerja lain dari pedalaman. Buruh
yang semula mogok, lalu terpecah dua. Sebagian akhirnya mau kembali bekerja
dengan tingkat upah yang 'disesuaikan', sedangkan sebagian lainnya tetap tidak
mau bekerja. Persoalan akhirnya tidak selesai secara tuntas, walaupun pihak
pengusaha mengalami kerugian karena buruh-buruh yang baru didatangkan itu,
tidak sekuat buruh-buruh Madura.
Pada bulan Januari 1922 buruh-buruh
pegadaian melakukan pemogokan. Ribuan buruh yang terlibat pemogokan ini tidak
masuk kerja sebagai ungkapan protes mereka. Pemerintah Hindia Belanda tidak
mempedulikan para buruh yang mogok ini, sehingga tidak ada penyelesaian. VSTP
dan RVC sementara itu mendukung para pelaku aksi mogok ini dengan melakukan
kampanye pengumpulan dana. Dalam kongres PVH bulan Desember 1922, pemogokan
umum menjadi bahan pembicaraan yang penting. Persetujuan terhadap rencana ini
tidak datang dengan cepat, sehingga Semaun kemudian mengambil keputusan
mengadakan pemogokan buruh melalui VSTP. Kemudian pada tahun 1923, pemogokan
buruh kereta api pun terjadi, sehingga lalulintas Jawa terganggu sama sekali.
Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan keras, dengan menangkap seluruh
pemimpin pemogokan, serta melarang organisasi tersebut mengadakan pertemuan.
Semua propaganda yang dilakukan aktivis buruh, dianggap sebagai tindakan
kriminal. Para aktivis PKI sementara itu terus melakukan aksi-aksi propaganda.
Pada tahun 1925 terjadi pemogokan-pemogokan di hampir semua intansi penting
tingkat lokal.
Pada bulan Agustus 1925 terjadi
pemogokan di pelabuhan Semarang. Sebelumnya setahun penuh, SPPL telah
mengorganisir buruh-buruh pelabuhan. Walau demikian, pemogokan tersebut tak
dapat dikatakan sepenuhnya dijalankan berkat agitasi dan propaganda SPPL, melainkan
karena ada tuntutan dari kaum buruh sendiri untuk menaikkan tingkat upah.
Kondisi kerja dan pemukiman buruh pada masa itu amat buruk dan tidak memadai.
Gubuk-gubuk yang membentuk kampung menjadi hunian sementara, dalam lingkungan
yang sangat buruk -- sekalipun dalam ukuran zaman itu. Berbagai laporan
pemerintah kolonial menunjukkan bahwa pemukiman menjadi salah satu persoalan
utama, bukan hanya bagi buruh, tapi juga bagi perkembangan kota Semarang
sendiri. Aksi pemogokan ini dilakukan oleh para pelaut dan buruh-buruh kapal
lainnya. Di antara bidang-bidang pekerjaan yang berbeda ini, timbul semacam
solidaritas. Misalnya, ketika para pelaut melakukan pemogokan, tidak seorangpun
di antara buruh lainnya yang datang menggantikan, sekalipun sanggup. Justru mereka
memilih ikut mogok bersama. Reaksi pihak pengusaha cukup keras -- walaupun
dalam pemogokan ini pihak buruh tidak melakukan perusakan atau sabotase.
Perusahaan itu mengerahkan polisi untuk memeriksa perahu-perahu dan kapal yang
biasa dijalankan oleh buruh. Para manajer perusahaan (orang-orang Belanda)
diberi penjagaan khusus untuk menghindari tindak kekerasan.
Dari sejumlah catatan aksi tersebut,
terlihat bahwa hubungan sesama buruh menjadi amat penting. Kampung, sebagai
tempat tinggal mereka menjadi sarana penghubung untuk memberitahu aksi-aksi
yang akan dilakukan buruh, sehingga persatuan di antara mereka dapat digalang
dengan mudah. Para aktivis gerakan buruh sendiri mengakui bahwa penggalangan
kekuatan buruh di pelabuhan, adalah pekerjaan yang sangat sulit, karena umumnya
mereka tidak bekerja secara tetap. Pekerjaan sampingan sebagai buruh tani di
desa membuat mereka tidak sepenuhnya bekerja di pelabuhan, dan tentunya
pengalaman kolektif sebagai buruh yang berhadapan dengan modal, tak begitu dirasakan.
Hal ini amat berbeda dengan para buruh di perusahaan kereta api, rumah gadai,
industri cetak, dan pabrik yang menggunakan mesin. Buruh trampil yang bekerja
tetap memiliki peranan sentral dalam gerakan buruh pada masa itu. Mereka
menjadi semacam penghubung antara para intelektual dan massa buruh yang bekerja
di pabrik, pelabuhan, rumah gadai dan sebagainya. 'Kelebihan' sebagian buruh
ini pada gilirannya juga menjadi masalah dalam menangani gerakan buruh. Karena
ketrampilannya (baca, tulis dan lainnya) mereka tahu bahwa posisinya menjadi
penting, baik dalam gerakan buruh maupun dalam kegiatan ekonomi kolonial.
'Kelebihan' ini pula yang membuat mereka cenderung diperlakukan baik oleh
penguasa dan menerima upah yang tinggi. Hal ini kemudian berpengaruh dalam
hubungan mereka dengan massa buruh lainnya. Masalah lain yang juga menghambat
gerakan buruh yang kuat adalah pembagian tempat kerja, yang disusun berdasarkan
pangkat, status, sukubangsa dan wilayah.
Reaksi pemerintah Hindia Belanda
terhadap gerakan buruh juga menarik. Mereka umumnya mengecam tindakan-tindakan
pemogokan sebagai 'aksi komunis' -- dan bahkan menyatakan "seandainya
orang-orang komunis tidak melakukan propaganda dan agitasi, maka tidak ada
pemogokan". Dalam sebuah penelitiannya, John Ingleson, seorang sarjana
Australia yang mempelajari sejarah gerakan buruh di Hindia Belanda,
memperlihatkan bahwa kebanyakan pemogokan pada periode 1918-1926 disebabkan
oleh kondisi sosial ekonomi yang amat buruk. Memang benar bahwa orang-orang
komunis memegang peranan besar dalam menggalang kekuatan kaum buruh dalam
organisasi, tapi tak dapat dilupakan bagaimana kondisi kerja yang buruk juga
mengizinkan buruh untuk melakukan aksi-aksinya. Pemerintah Hindia Belanda yang
amat reaksioner di masa itu, tidak bertentangan dengan pengusaha yang melakukan
eksploitasi. Walaupun negara kolonial tidak dikendalikan oleh kelas tertentu,
kepentingan mereka agaknya masih bersambungan.
Sejak Desember 1925,
pengorganisasian buruh di perkotaan semakin sulit. Kebanyakan serikat buruh
tidak berjalan dengan baik karena pemimpin-pemimpin mereka banyak yang berada
di penjara atau pengasingan. Para aktivis setempat umumnya kehilangan
pekerjaan, atau sangat khawatir bahwa mereka akan mengalaminya. Mereka kemudian
cenderung bekerja dengan tenang, dan dengan sendirinya menyampingkan kegiatan
organisasi. Sejumlah pemogokan tetap dilakukan, dan sifatnya lebih spontan,
karena ada persoalan-persoalan lokal, seperti upah yang tidak terbayar. Hal ini
dapat ditemui di pelabuhan, tempat percetakan, dan pabrik. Setelah
dikalahkannya pemogokan buruh di Surabaya di bulan Desember 1925, fase pertama
gerakan buruh di Indonesia berakhir. Serikat-serikat buruh tetap berdiri,
walaupun kehilangan banyak aktivisnya.
Pada tahun 1926 terjadi aksi-aksi
perlawanan di seluruh Jawa dan bagian Barat Sumatra. Aksi-aksi itu mendapat
dukungan terutama dari PKI dan organisasi-organisasi radikal lainnya.
Pemerintah Hindia Belanda menumpas gerakan itu dengan kekerasan, dengan hasil
ratusan orang terbunuh, dan ribuan lainnya ditangkap dan dibuang ke luar Jawa.
Tempat pembuangan yang kemudian terkenal adalah Tanah Merah di Nieuw Guinea
(Irian Jaya pada masa sekarang). Keadaan tempat pembuangan tersebut amat buruk,
dan belum pernah dihuni manusia sebelumnya. Orang-orang buangan dipaksa membuat
sendiri tempat tinggal mereka di tengah hutan dan rawa. Penyakit yang paling
sering muncul adalah malaria hitam yang mematikan. Sejumlah tokoh pergerakan
seperti penyair aktivis Mas Marco Kartodikromo, Najoan dan Ali Archam meninggal
di tempat ini. Pemerintah Hindia Belanda menuduh bahwa gerakan itu didalangi
oleh orang-orang komunis dengan dukungan Komintern. Dengan tindakan pembuangan
ini, pemerintah Hindia Belanda telah berhasil menumpas pergerakan radikal di
Jawa dan menyingkirkan tokoh-tokohnya yang paling berpengaruh, sehingga tidak
dapat mengadakan kontak dengan mereka yang terus bergerak. Setelah peristiwa
1926 ini, organisasi seperti PVH tidak lagi terdengar, begitu pula dengan VSTP,
PFB dan lainnya.
Hilangnya tokoh-tokoh radikal itu
amat berpengaruh pada perkembangan gerakan buruh di Jawa. Tokoh gerakan buruh
yang masih bertahan tidak lagi dapat menggunakan cara-cara seperti sebelumnya,
karena sejak 1927 pemerintah Hindia Belanda melakukan tekanan terhadap
gerakan-gerakan radikal. Beberapa tokoh kritis di Belanda sendiri, menilai
tindakan negara Hindia Belanda sudah menjurus pada fasisme. Pada bulan Juli
1927, buruh kereta api mendirikan Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST)
yang dalam beberapa bulan saja berhasil menghimpun sekitar 5.000 buruh.
Sejumlah organisasi yang sudah ada sebelum 1926, kembali digerakkan secara
bertahap, walaupun kekuatannya lebih lemah jika dibandingkan dengan masa
sebelumnya.
Pada tanggal 8 Juli 1928, didirikan
Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) di Surabaya, yang beranggotakan beberapa
serikat buruh lokal. Organisasi yang diketuai Marsudi ini dengan cepat
dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai 'komunis' -- sama pemerintah
Orde Baru menuduh aktivis buruh di zaman sekarang sebagai 'PKI' atau 'keturunan
PKI'. Organisasi ini berkembang cepat sampai ke Medan, yang dipimpin oleh Mr
Iwa Kusumasumantri. Pada tanggal 1 April 1929 SKBI bergabung dalam Liga
Menentang Kolonialisme dan Penindasan yang dikoordinir oleh Internasionale
Ketiga (Komintern). Kecurigaan pemerintah memuncak, dan pada tahun 1929 mereka
menggeledah kantor-kantor pusat organisasi ini dan menangkap semua pimpinannya,
yang kemudian dibuang ke Boven Digoel tanpa pemeriksaan sebelumnya.
Pada bulan April 1930 sejumlah
serikat buruh yang bekerja pada kantor-kantor pemerintah, kembali membuat
federasi serikat buruh dengan nama Persatoean Vakbond Pegawai Negeri (PVPN).
Sementara itu di perusahaan-perusahaan swasta kaum buruh kembali bergabung di
bawah naungan Persatoean Sarekat Sekerdja (PSSI), yang dibentuk beberapa bulan
setelah PVPN. Kedua organisasi ini menjadi pimpinan gerakan buruh pada masa
setelah 1926, dan tidak melakukan kegiatan atau aksi yang berarti. PVPN
misalnya sama sekali tidak melakukan pembicaraan politik dan bergabung dengan
federasi serikat buruh internasional pada tahun 1931. PSSI sendiri, walaupun
memiliki organisasi yang baik, tidak melibatkan mayoritas buruh yang tidak
memiliki organisasi. Kecurigaan pemerintah Hindia Belanda terus berlangsung
terhadap gerakan buruh ini, dan dengan mudah mereka dapat melakukan penangkapan
tokoh-tokoh yang kemudian dibuang ke luar Jawa.
Depresi 1929 membawa pengaruh yang
cukup besar pada perkembangan gerakan buruh. Kesulitan ekonomi mengakibatkan
para pengusaha mengambil jalan pintas, yaitu memecat buruh-buruhnya. Hal ini
dengan sendirinya berpengaruh kepada keanggotaan serikat buruh yang ada. PVPN
misalnya, pada tahun 1933 kehilangan sekitar 8.000 anggotanya. Banyak
organisasi yang bernaung di bawah federasi ini mati di tengah jalan. Hal yang
sama juga dialami oleh PSSI. Dalam masa resesi, hanya golongan Tionghoa yang
berhasil mencatat sejumlah kemajuan. Di beberapa kota besar, seperti Semarang,
Jakarta dan Bandung, mereka berhasil mendirikan Perkoempoelan Kaoem Boeroeh
Tionghoa (PKBT) dan Serikat Boeroeh Tionghoa (SBT). Dalam sebuah konperensi
tanggal 25 Desember 1933, mereka mendirikan Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa
(FKBT). Kedatangan Direktur ILO, Harold B Butler pada bulan Oktober 1938
sebenarnya membawa banyak harapan, tapi seperti yang diamati kemudian, tidak
terjadi kemajuan yang berarti.
Rencana
pembentukan partai politik menjelang tahun 1938 menjadi pembicaraan yang
hangat. Sebagian orang yang merasa bahwa perlunya didirikan sebuah partai untuk
membela kepentingan buruh mendirikan Indische Partij van Werknemers. Pada
tanggal 7 Oktober 1938 di Jakarta. Alasan pendirian partai ini, dalam rapat
pelantikan disebutkan bahwa hasil organisasi yang kuat untuk memberi dukungan
kepada gerakan buruh. Di samping itu IPVW juga bertujuan memberantas
pengangguran serta kesulitan-kesulitan lain dalam memajukan industri rakyat.
Munculnya partai ini tidak serta merta diterima oleh serikat-serikat buruh yang
ada. PVPN misalnya mengeluarkan pernyataan 'sebelum PVPN menetapkan sikapnya...
perlu diselidiki dulu keuntungan dan kerugian kita atas pendirian partai baru
ini dan bagaimana sambutan masyarakat atas lahirnya partai ini...'
Pada
masa pendudukan Jepang, seperti diketahui, terjadi kemacetan dalam bidang
politik. Pemerintah militer Jepang melarang semua kegiatan politik, kecuali
beberapa lembaga yang didirikan secara khusus untuk kepentingan mereka. Gerakan
buruh secara umum mengalami kemacetan, hanya sejumlah tokoh yang tetap aktif,
dan itu pun bukan dalam kegiatan serikat buruh. Banyak di antara mereka
bergabung dengan kegiatan bawah tanah yang tersebar di Jakarta dan Jawa Timur.
Hal yang penting untuk dicatat dari
gerakan buruh di zaman kolonial, adalah kenyataan bahwa gerakan tersebut tak
pernah terlepas dari kegiatan politik. Artinya begini, pada masa sebelum 1927,
gerakan buruh jelas memiliki persekutuan dengan kegiatan politik, seperti VSTP
yang berhubungan erat dengan ISDV dan PKI. Begitu pula dengan serikat-serikat
buruh lainnya. PPKB sendiri sebagai federasi gerakan buruh yang pertama di
Hindia, merupakan hasil pergolakan politik, dan tidak muncul begitu saja. Pada
masa setelah tahun 1927, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap dunia
pergerakan (melalui pelarangan, penangkapan, pembuangan, pembunuhan dan
sebagainya) mengakibatkan munculnya organisasi buruh yang lebih moderat
ketimbang masa sebelumnya. Dibuangnya sejumlah tokoh radikal tentu berpengaruh
besar terhadap perkembangan sosial-politik di Hindia. Hal ini membuktikan bahwa
kepentingan negara dan modal di satu pihak, selalu berhadapan dengan
kepentingan masyarakat yang merupakan mayoritas. Pada masa 1927-1942 negara
berhasil menancapkan kembali dominasinya dalam kehidupan sosial politik yang
semula 'terganggu' dengan adanya gerakan buruh yang radikal tersebut.
MASA
PASCA KOLONIAL
Perjuangan mencapai kemerdekaan
melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, termasuk gerakan buruh. Pada
tanggal 15 September 1945 sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta
untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan
landasan bagi gerakan buruh. Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh
sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang
ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Pilihan nama
'barisan' tersebut harus diletakkan pada konteks zamannya, yaitu ketika
orang-orang Indonesia masih terlibat dalam perang kemerdekaan sampai tahun
1949. Dalam konperensi tersebut, BBI juga menuntut Komite Nasional Indonesia
untuk memberi pengakuan terhadap organisasi tersebut. Karena sulitnya
komunikasi dengan wilayah lain, maka gerakan buruh di luar Jawa mendirikan
organisasi mereka masing-masing. Di Sumatra misalnya pada bulan Oktober 1945
telah berdiri Persatoean Pegawai Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI). Komite Nasional
Indonesia sementara itu juga menyerukan kepada perwakilan-perwakilan di daerah
untuk mendukung pembentukan serikat-serikat buruh. Dalam perjuangan fisik, kaum
buruh bergabung dalam Lasjkar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan cepat
didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada koordinasi yang jelas,
sampai pada sebuah konperensi di Blitar pada bulan Desember 1945. Soediono
Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan pimpinan. LBI ini juga ditetapkan
sebagai badan yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak memiliki
hubungan apa-apa. Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita
yang diketuai oleh SK Trimurti. Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan
dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, terhadap perlunya persatuan. Pada
tanggal 1 Mei 1946 (Perayaan Hari Buruh), BBW telah berhasil mengumpulkan calon
pemimpin buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan.
BBI mendapat dukungan kuat dari
Menteri Sosial RI yang pertama, Mr Iwa Kusumasumantri. Pada bulan November
1945, BBI mengadakan kongres pertama yang dihadiri bukan hanya oleh
aktivis-aktivis BBI dan cabang-cabangnya, tapi juga dari aktivis-aktivis
gerakan buruh yang tersebar di Sumatra dan pulau-pulaunya. Sjamsju Harja Udaja,
seorang pemimpin BBI, mengajukan rancangan untuk mengubah BBI menjadi partai
politik. Rancangan ini mengundang perdebatan di antara para tokoh. Sebagian
bertujuan untuk membangun BBI sebagai suatu federasi buruh yang kuat, bebas
dari partai-partai politik dan siap menggunakan pengaruhnya terhadap setiap
pemerintahan bila perlu. Golongan lainnya, di bawah pimpinan Sjamsju Harja
Udaja berusaha untuk menjadikan BBI sebuah partai politik yang menjadi alat
politik dari gerakan buruh. Akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan partai,
tanpa harus membubarkan BBI. Partai Boeroeh Indonesia (PBI) muncul sebagai
hasil kongres tersebut, dengan Sjamsju Harja Udaja sebagai ketua. Para aktivis
yang tidak setuju dengan pembubaran BBI, terus menjalankan kegiatan organisasi
ini. Cabang-cabang yang ada diperkuat, dan sangat berpengaruh pada gerakan
buruh selanjutnya. Cabang Jakarta misalnya, dipimpin oleh Njono yang pada
dekade 1950-an menjadi Sekjen SOBSI. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama
setelah bulan Januari 1946 PBI semakin menganggap diri sebagai partai oposisi
dan oleh pemerintah diperlakukan seperti yang mereka kehendaki. Dalam
kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis; instalasi industri yang
diambilalih oleh buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh
pemerintah. Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap
bertentangan ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir)
dan akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan
sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil
saja dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu
kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.
Pada periode-periode 1945-47
sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG),
Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik
Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu),
Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam
Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan
sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh
gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah
Hindia Belanda. Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini, kembali muncul
keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan
federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada tanggal 21
Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai
hasil peleburan BBI. Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan
bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja,
yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi
buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan
lainnya. mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV)
pada bulan Juli 1946.
'Perpecahan' ini tak berlangsung
lama dan tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh
Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya. Organisasi ini
dipimpin oleh tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan
Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik
seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, PBI, Barisan Tani yang mendukung
pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa
SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama dengan
partai-partai politik. Dasar organisasi yang dipilih SOBSI adalah demokratis-sentralisme,
artinya pengurus sentral dalam melakukan tugas-tugasnya bertanggung jawab pada
kongres. Federasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari serikat-serikat buruh
yang lain. LBI yang semula berdiri sendiri, dimasukkan ke dalam SOBSI juga mendapat
perhatian, terlihat dari undangan yang dikirim WFTU untuk menghadiri sidang
umum di Praha, Cekoslovakia. Sebagai wakilnya, SOBSI mengirim Setiadjid dan Oei
Gie Hwat. Pada masa perang, dengan adanya blokade Belanda, maka hubungan badan
sentral dengan cabang-cabangnya tidak berjalan dengan lancar. Perpecahan
sesudah Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan
pendapat dalam garis politik. SOBSI pada dekade 1950-an menjadi federasi
serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitasnya.
Golongan yang tidak setuju dengan
pemerintahan Sjahrir, membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner
Indonesia (GASBRI). Ketika terjadi Peristiwa Madiun 1948, sejumlah tokoh SOBSI
mati ditembak atau ditangkap. Sejumlah tokoh lainnya yang berhasil
menyelamatkan diri, terus bergerak, walaupun tidak dapat tampil ke permukaan.
16 serikat buruh yang semula bergabung dengan SOBSI memisahkan diri dari
federasi tersebut.
Para tokoh yang semula bergabung
kembali pada bulan Juli 1949, dan mendirikan Himpunan Serikat-Serikat Boeroeh
Indonesia (HISSBI), bergabung di bawah Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia
(GSBI). HISSBI tidak bertahan lama, dan hilang seiring dengan tampilnya SOBSI
ke panggung gerakan buruh Indonesia. Di samping kedua federasi yang besar itu,
golongan Islam mendirikan Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII), tanggal 27
November 1948. Tidak seperti SOBSI, organisasi ini tidak memiliki hubungan yang
dekat dengan pemerintah RI. Sementara itu di luar wilayah republik, pada periode
1946-49 terjadi sejumlah perkembangan dalam gerakan buruh. Di Jakarta,
didirikan dua buah organisasi buruh yang dikendalikan orang-orang Tionghoa,
yaitu Federasi Perkoempoelan Boeroeh Seloeroeh Indonesia (FPBSI), dan Poesat
Organisasi Boeroeh (POB). Sementara itu di beberapa kota pulau Sumatra,
organisasi buruh bermunculan, begitu pula di Kalimantan. Di Bogor, didirikan
Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GABSI), dan di Purwakarta, organisasi
sejenis dibentuk dengan nama Ikatan Serikat Boeroeh Indonesia (ISBI). Di
Surabaya didirikan Gaboengan Perserikatan Boeroeh Indonesia (GPBI) dan Federasi
Boereoh Indonesia (FBI). Di luar Pulau Jawa, sejumlah organisasi berdiri di
Balikpapan, Banjarmasin, Makassar (Ujung Pandang), Pare-Pare, Manado dan
lainnya.
Begitu banyaknya jumlah organisasi
yang tidak jarang mengklaim diri mereka sebagai federasi tentu memiliki alasan
tertentu. Perbedaan pendapat mengenai dasar organisasi dan persepsi politik
adalah sumber perpecahan yang amat umum. Perpecahan dan penggabungan merupakan
pemandangan umum pada masa itu. Kehidupan sosial-politik yang demokratis pada
masa pasca-Proklamasi tidak mengizinkan terjadinya tindakan-tindakan
sentralisasi yang amat ketat. Semua tindakan yang kelihatan mengarah pada
sentralisasi, segera dituding sebagai tindakan yang tidak demokratis dan tidak
sejalan dengan perjuangan kepentingan kaum buruh. Walau begitu sulit untuk
menilai bahwa masa itu merupakan masa kekacauan, dalam pengertian tidak adanya
serikat buruh yang dapat dijadikan pegangan. Pandangan yang melihat gejala
tersebut (sampai tahun 1957) sebagai keruntuhan demokrasi, sebenarnya telah
melandaskan gagasannya pada perkembangan demokrasi yang terjadi di Barat.
Pandangan seperti itu tak dapat dibenarkan, karena cenderung mengabaikan pengalaman
historis kelas buruh Indonesia.
Buruh yang terlibat dalam organisasi
tertentu di tahun 1950-an jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh
ini bergabung di bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat
buruh lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat nasional.
Serikat-serikat buruh nasional memiliki jumlah anggota yang beragam. Serikat
Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) misalnya mengklaim anggotanya
sebanyak 600.000 orang. Sementara serikat buruh nasional seperti Perhimpunan
Ahli Gula Indonesia (PAGI) hanya memiliki 600 anggota. Label 'nasional' yang
dikenakan dengan begitu tidak menjamin jumlah anggota yang banyak. Di antara
ratusan serikat buruh itu, dapat dilihat adanya empat federasi serikat buruh
yang cukup besar dan tiga federasi yang lebih kecil, serta sejumlah organisasi
lainnya yang juga mengklaim dirinya sebagai federasi. Keempat federasi serikat
buruh itu adalah :
1.
SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari
seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki organisasi yang
baik, dan paling efisien dari segi administrasi. Seperti diketahui, federasi
ini dibentuk di tahun 1946 ketika Indonesia sedang berada dalam perang
kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini
memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di
bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh
nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya yang cukup penting
adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB
(Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak),
SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP
(Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI
(Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade
Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai
Wakil Presiden WFTU.
2.
Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI),
yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 terdiri atas serikat-serikat buruh yang
non komunis. Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000 orang, tapi
segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat
kepemimpinannya. Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah
PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan),
SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi
dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada
hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.
3.
SBII didirikan di bulan November 1948
oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan
organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya
diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII
ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah
menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini
melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Qur'an. SBII ini memiliki afiliasi
dengan International Conference of FreeTrade Unions (ICFTU). Selain itu SBII
juga mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.
4.
Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia
(KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama,
Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai
Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi
ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi
organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi
ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah
anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (di tahun 1958
ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat
dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di
luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap
memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.
Seperti dikatakan, masih ada 3
federasi serikat buruh yang lebih kecil, yaitu HISBI yang didirikan di tahun
1952. Organisasi ini didirikan oleh para aktivis gerakan buruh yang dekat
dengan tokoh-tokoh partai buruh. Pada tahun 1955, anggotanya mencapai 413. 975
orang. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan keberhasilan KBKI dan
SOBSI, jumlahnya terus menurun dan di tahun 1958 tercatat sekitar 50. 000 orang.
Federasi lainnya adalah Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI)
yang menjadi gerakan buruh dari Partai Murba. Ketika dibentuk di tahun 1951,
organisasi ini mengklaim anggotanya mencapai 469. 490 orang. Sama seperti
HISBI, organisasi ini juga kalah bersaing dengan SOBSI dan KBKI, sehingga pada
tahun 1958 tercatat anggota sebanyak 100. 000 orang. Sjamsu Haja Udaja yang
pernah tercatat sebagai aktivis BBI menjadi salah satu pimpinan organisasi ini.
SOBRI juga berafiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Federasi
yang terakhir adalah GSBI yang didirikan di bulan September 1949 oleh 19
serikat buruh, termasuk PGRI dan SBDA. GBSI yang semula bergabung di bawah
KBSI, kemudian keluar dan tetap bertahan sendiri di bawah Rh. Koesnan. Tahun
1958 tercatat anggotanya sebanyak 36. 000 orang.
Di samping itu masih ada beberapa
organisasi yang juga berbentuk federasi, dengan skala yang jauh lebih kecil,
seperti Gabungan Serikat Sekerdja Pemerintah Daerah Istimewa Djokjakarta
(GSSPDIJ). Gabungan Organisasi Buruh Indonesia (GOBI), dan Gabungan Buruh
Indonesia (GBI). Pada tahun 1955 kementrian perburuhan membuat semacam catatan
yang masukan 67 serikat buruh sebagai organisasi yang independen. Antara lain
yang termasuk ke dalam golongan ini adalah PGRI, Persatuan Pegawai Polisi
Republik Indonesia (P3RI), Organisasi Buruh Perkebunan Indonesia (OBPI),
Serikat Buruh Listrik dan Gas Indonesia (SBGLI), dan lainnya.
Partai-partai
politik dalam tahun 1955 juga banyak yang ikut mendirikan serikat-serikat buruh.
Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, mendirikan Sarikat Buruh Muslimin Indonesia
(SARBUMUSI) sebagai serikat buruh vertikal yang bernaung di bawah panji-panji
NU. Golongan lain, orang-orang Katolik mendirikan Sentral Organisasi Buruh
'Pancasila' yang dalam mukadimahnya menyatakan bahwa organisasi tersebut
'mempunyai azas Pancasila menurut pengertian Katolik.' Perbandingan dari segi
jumlah organisasi buruh yang berafiliasi politik dapat dilihat dalam tabel 1
(halaman belakang).
Aktivitas yang dilakukan organisasi-organisasi
ini amat beragam. Bulan November 1957, Penguasa Perang Pusat membentuk Badan
Kerdjasama Buruh-Militer, yang bergerak dalam bidang keamanan (Perdjuangan
Irian Barat), ekonomi dan sosial. BKS Bu-Mil ini memegang peranan yang penting
pada masa penuh kekacauan tersebut. Golongan buruh dan pegawai yang termasuk
golongan fungsional dalam Dewan Nasional, memiliki 5 orang wakil (Runturambi
dari SOBSI, Soetedjo Dirdjosoebroto dari RKS, Kobarsih dari SOBRI, Iskandar
Wahono dan Faturhadi dari KBKI) di Dewan Perantjang Nasional (Depernas), yang
seluruhnya berjumlah 17 orang. Dalam Dewan Pertimbangan Agung Sementara, juga
terdapat wakil dari golongan fungsional, yaitu Munir dari SOBSI dan Datuk dari
KBKI. Pemogokan pada dekade 1950-an juga sering terjadi, umumnya dengan
tuntutan kenaikan upah. Selama periode 1951-60 terjadi 30.538 kasus
perselisihan yang sering disertai pemogokan. Pemogokan menjadi senjata ampuh
bagi kaum buruh untuk memenuhi keinginannya. Disamping urusan pabrik yang
mereka hadapi sehari-hari, kaum buruh juga terlibat dalam aktivitas politik,
seperti protes yang mereka lakukan dalam kasus Irian Barat. Sejumlah 1. 031.
038 orang buruh turun melakukan protes pada akhir tahun 1957 sehubungan dengan
masalah Irian Barat.
Ruang gerak federasi-federasi
serikat buruh mulai mendapat tekanan dari pihak militer dengan dijalankannya
kebijaksanaan BKS BUMIL. Walau para pemimpin serikat buruh tetap mendominasi
namun kerjasama tersebut telah menyebabkan adanya intervensi militer ke dalam
tubuh gerakan buruh. Hal ini pada masa sebelumnya belum pernah terjadi. Pada
bulan Juli 1960, Menteri Perburuhan dan sekaligus ketua KBKI, Ahem Erningpraja
mengajukan rancangan untuk membentuk Organisasi Persatuan Pekerdja Indonesia
(OPPI) yang diharapkan dapat menyatukan gerakan buruh. Rancangan tersebut
ditolak oleh SOBSI, walau kemudian tetap terbentuk di berbagai daerah dengan
dukungan serikat-serikat buruh yang non-komunis dan perwira militer di
daerah-daerah. Dalam masalah Irian Barat Menteri Perburuhan membentuk Sekretariat
Bersama, yang diwakili oleh SOBSI, KBKI, SARBUMUSI, GASBIINDO, GOSII, dan
SOBRI. Badan ini juga membicarakan beberapa masalah lain, seperti memperluas
keanggotaan dengan memasukkan Organisasi Karyawan. Di samping itu pemerintah
juga mendirikan sebuah lembaga yang merupakan perwakilan pihak pengusaha, yaitu
Dewan Prusahaan. Pada bulan Desember 1962, organisasi yang mendapat dukungan
dari kalangan militer ini mengadakan kongres di Jakarta, dan mengubah nama
menjadi Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Organisasi ini
dipimpin oleh Jendral Suhardiman. Perkembangan ini antara lain menunjukkan
usaha negara untuk mengambil alih pimpinan gerakan buruh yang selama ini berada
di tangan masyarakat. Kebijaksanaan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno agaknya
juga menjalar ke dalam tubuh gerakan buruh.
Peristiwa Gerakan 30 September
agaknya bukan cerita yang baru, sehingga saya tidak perlu memberi penjelasan
yang mendalam mengenai persoalan ini. Terlepas dari berbagai pendapat yang
kadang bertentangan, saya akan lebih mengarahkan perhatian pada apa yang
terjadi kemudian, atau peristiwa-peristiwa yang menyusul kejadian tersebut.
Segera setelah pihak militer
mengumumkan bahwa G30S didalangi PKI, maka sebagian massa dengan dukungan
militer melakukan penangkapan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI,
dan yang dituduh PKI. Pembunuhan massal terjadi di sejumlah wilayah, dan
dimulai justru dari Aceh, yang sebelumnya tidak memperlihatkan keterlibatan
dengan perkembangan politik di Jawa. Pengejaran terhadap orang-orang yang
dituduh bersalah selanjutnya merembet ke wilayah-wilayah lain dan kadang
berjalan tidak sesuai dengan aturan. Di daerah Jawa Tengah misalnya, mayat dari
orang yang dituduh PKI bergelimpangan di jalan dan sungai. Beberapa penulis
yang mengamati pembunuhan massal ini memperkirakan bahwa orang yang mati
terbunuh masa itu, mencapai setengah juta sampai satu juga jiwa. Jumlah itu
belum termasuk orang-orang yang ditangkap lalu diadili.
Segera setelah itu, aparat negara
dikuasai oleh golongan militer beserta sejumlah birokrat sipil yang terpilih.
Konsolidasi pihak militer sendiri, yang sempat terpecah di tahun 1960-an,
dilakukan melalui berbagai lembaga seperti Dephankam. Aparat negara secara
bertahap dikuasai oleh para perwira militer, sampai tingkat propinsi. Kehidupan
sosial-politik setelah 1965 tampak didominasi oleh negara, sementara masyarakat
berada dalam posisi subordinat. Modal asing yang semula dilarang bekerja di
Indonesia, mulai dundang kembali melalui UU No.1 tahun 1967. Dengan masuknya
kembali modal asing ini dan berkembangnya modal di Indonesia, negara
berkepentingan untuk menjamin adanya buruh yang disiplin (disamping murah). Di
samping jaminan pada penanaman modal asing, negara sendiri memiliki kepentingan
terhadap buruh murah dan disiplin yang bekerja pada sektor-sektor ekonomi yang
dikuasai, seperti pertambangan, perkebunan dan sebagainya. Salah satu
'keberhasilan' pemerintah pada masa ini adalah menekan laju inflasi yang
meningkat pesat menjelang tahun 1966, dengan bantuan dana dari lembaga-lembaga
asing. Gejala berkurangnya peranan masyarakat dalam kehidupan sosial politik
juga terlihat dalam perkembangan gerakan buruh.
Di tahun 1966, PKI beserta
organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut, seperti LEKRA, SOBSI, BTI
dan sebagainya dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai serta organisasi
terlarang. Gerakan buruh yang semula didominasi oleh SOBSI mengalami kemacetan.
Pemerintah Orde Baru kini mengambil tindakan tegas terhadap apa yang dianggap
bertentangan dengan kebijaksanaan mereka, termasuk di bidang perburuhan.
Jabatan Menteri Perburuhan dihapus dari kabinet dan diganti oleh jabatan
Menteri Tenaga Kerja sampai saat ini. Menaker pertama (Maret 1966) Awaluddin
Djamin, seorang perwira militer. Jabatan ini selanjutnya dipegang oleh perwira
militer, sampai pada masa Admiral Mursalin, yang diganti oleh M. Sadli. Dalam
waktu yang singkat (1965-69) negara berhasil mengontrol perkembangan gerakan
buruh, dan secara ketat membatasi ruang gerak aktivitasnya. Hal ini dapat
dilihat misalnya ketika buruh-buruh kereta api yang bernaung di bawah SBKA
harus masuk ke dalam PNKA. Berdasarkan Keppres tanggal 29 November 1971
didirikan Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI), yang menghimpun
seluruh pegawai sipil pemerintah dalam satu wadah. Serikat-serikat buruh yang
semula ada di tiap-tiap kementrian, tersingkir dengan adanya lembaga ini.
Tekanan-tekanan dilakukan terhadap kegiatan serikat-serikat buruh yang tidak
terkena pelarangan atau pembantaian.
Tanggal
20 Februari 1973 didirikan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang
dipimpin oleh Agus Sudono (semula dari GASBIINDO) dengan sekjen Sukarno (dari
OPSUS). Dalam pembentukan federasi ini organisasi internasional seperti ICFTU
yang pernah berhubungan dengan gerakan buruh di bawah koordinasi Masyumi dan
AFL-CIO. Organisasi federatif ini beranggotakan Serikat Buruh Lapangan
Pekerjaan (SBLP). Pengelompokan serikat buruh ditentukan berdasarkan jenis
pekerjaan. Sekali pun telah berada dalam pengawasan negara, SBLP ini masih
berperan penting dalam kegiatan gerakan buruh. Kedudukan mereka yang otonom
membuatnya sulit dikendalikan, oleh FBSI sekalipun. Pemogokan yang dilakukan
oleh buruh di sebuah pabrik sepatu misalnya, dapat segera diikuti oleh buruh
pabrik sepatu lainnya. Sebelum didirikannya FBSI ini, tahun 1972 masyarakat
menyaksikan penciutan partai politik dari 10 menjadi 2 dan 1 Golkar. Sementara
harga bahan kebutuhan pokok tidak dapat ditahan. Upah buruh yang tetap bertahan
rendah harus bersaing dengan kenaikan harga tersebut. Jumlah buruh yang
tergabung dalam satu-satunya organisasi buruh di masa Orde Baru ini juga
mengalami penurunan. Setelah berdiri selama 8 tahun, Agus Sudono mengklaim
bahwa FBSI memiliki 21 SBLP, 26 DPD FBSI, 268 DPC, 8.210 basis SBLP dan 2. 77 anggota.
Kasus perselisihan buruh sementara itu semakin meningkat sejak pemerintah
mengeluarkan Knop 15 di tahun 1978, dan rupanya FBSI tak sanggup menangani
berbagai perkara. Setelah bertahan selama 12 tahun, FBSI lalu diganti menjadi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang menggunakan sistem unit-unit
kerja.
SEJARAH GERAKAN BURUH INDONESIA
Reviewed by PC SPKEP SPSI BEKASI
on
August 15, 2015
Rating:
No comments: