Perpres tersebut resmi ditandatangani pada tanggal 17 September 2018. Pada Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2), disebutkan tentang pendaftaran bayi baru lahir kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari sejak dilahirkan. Isu ini merupakan perjuangan KPAI serta pihak terkait. Pasal 16 Ayat (1) ini dinilai sangat tepat dan harus, dikarenakan bahwa kematian pada balita yang tertinggi disumbang oleh Neonatus atau bayi baru lahir hingga berusia 28 hari. Masa Neonatus adalah masa rawan bagi usia bayi.
Akan tetapi, pemberlakuan Pasal 16 Ayat (1) dan (2) tersebut tidak serta merta dapat diaplikasikan, dengan cepat, sejak diberlakukan oleh Bapak Presiden Jokowi. Pasal 104 mengamanatkan Pasal 16 ini berlaku 3 bulan lagi, yaitu mulai berlaku 18 Desember 2018. Kehadiran Pasal 104 ini, kata Sekretaris FSP KEP SPSI, Sulistiyono, menyebabkan beberapa bayi yang baru lahir tidak bisa langsung dijamin. “Seharusnya seluruh pasal di Perpres 82 ini berlaku sejak Perpres ini disahkan sehingga bayi yang baru lahir sejak 18 September 2018 bisa langsung dijamin,” katanya.
Selain Pasal 16 ayat 1 dan 2 di atas, sebenarnya Pasal 46 ayat (5) Perpres no. 82 ini juga mengamanatkan bayi baru lahir dijamin dalam waktu 28 hari sejak lahir. Pasal 46 ayat (5) ini tidak masuk dalam Pasal 104 yang ditunda pemberlakuannya. Tapi Pasal 46 ayat (5) ini tidak diakui BPJS Kesehatan untuk menjamin bayi baru lahir. BPJS Kesehatan hanya mengakui Pasal 16 Ayat (1) dan (2) untuk menolak penjaminan langsung bagi bayi baru lahir.
Akibatnya, menurut Komisioner Bidang Kesehatan & NAPZA KPAI, DR(cand) Sitti Hikmawatty,S.ST, M.Pd, terjadi missed (kesalahpahaman) dalam implementasi di lapangan. Pasalnya, sejauh ini, sosialisasi Perpres di jejaring fasilitas kesehatan masih banyak yang belum optimal di masyarakat. Akibatnya, sudah ada beberapa pasien bayi yang menjadi korban dikarenakan tidak tertangani dengan baik dan cepat. “Kami meminta keberadaan pasal 104 dalam Peraturan Presiden nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional dihapus,” ujar Sitti Hikmawatty.
Sitti mengatakan jika dilakukan konversikan, pada rerata kelahiran di Indonesia yang mencapai jumlah 4,8 juta kelahiran pertahun, cakupan pelayanan persalinan yang dicover oleh BPJS masih relatif sedikit, tidak sampai 20% cakupan. Sisanya sebanyak lebih dari 80% belum ditemukan laporan data resminya. “Tingginya persalinan melalui tindakan (SC-red), menjadi perhatian tersendiri bagi KPAI, karena adanya literatur yang menyatakan bahwa hampir 90% Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) diawali dengan persalinan tidak melalui jalan normal. Dan kita pahami pula, bahwa dalam JKN ini, penanganan terhadap ABK belum dicover secara khusus pembiayaannya,” katanya, menjelaskan. Hadir dalam jumpa pers tersebut Kepala Bidang Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar; dan Pengurus Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Agus.
Sementara itu, Koordinator Divisi Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, juga mendorong pemerintah untuk mencabut pasal 104. “Kami tidak tahu kenapa ada pasal 104 yang menunda pasal 16 ini. Harusnya pemerintah memposisikan, sejak ditandatangani Perpres Nomor 82 Tahun 2018 maka berlaku pasal ini. Ini jadi keprihatinan supaya presiden mencabut pasal 104 karena terkait hak bayi baru lahir untuk jaminan kesehatan,” tuturnya.
Link Video Jumpa Pers di Kantor KPAI
Istri Eks Pekerja Jadi ‘Korban’ Tidak Optimalnya Perpres No.82/2018
Sulistiyono menjelaskan terkait implementasi pasal 16 Perpres 82/2018 yang belum optimal menimpa istri dari salah satu pekerja yang terkena korban PHK dari sebuah perusahaan yang sedang relokasi di Jakarta Utara. Salah satu pekerja ini bernama Muh Maryanto. Dia korban PHK bersama 254 orang pekerja lain di perusahannya. PHK berlangsung persis pada tanggal 18 September 2018. Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 2018, seluruh pekerja atau sebanyak 255 orang pekerja korban PHK langsung non-aktif dalam Kepesertaan BPJS Kesehatan.
Kebetulan, istri Muh Maryanto sedang melahirkan dengan cara Cesar pada tanggal 1 Oktober 2018, padahal kartu kepesertaan BPJS Kesehatan sudah tidak berlaku. Anaknya harus dirawat di Ruang PICU/NICU di RS daerah Purworejo Jateng, karena ada permasalahan pernafasan, karena proses peralihan kepesertaan. Di sisi lain, Muh Maryanto sedang memproses kartu kepesertaan baru BPJS Kesehatan, dan menunggu masa aktivasi 14 hari dari kepesertaan PPU ke kepesertaan Mandiri.
Akibatnya, kata Sulistiyono, eks pekerja Muh Maryanto harus menanggung biaya perawatan anak secara pribadi. “Kasus tersebut sudah dilaporkan ke direktur pelayanan dan kepesertaan BPJS Kesehatan melalui surat oleh PP FSP KEP SPSI, tetapi sampai hari ini (Senin, 15/10/2018), pihak BPJS kesehatan tidak ada respon terkait kasus tersebut,” katanya.
Atas peristiwa tersebut, Timboel Siregar menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan masih berkutat pada sistem. Belum berfikir masalah penyelamatan bayi/manusia harusnya dengan Prinsip Gotong Royong BPJS. “Yakni mengedepankan aspek kemanusiaan dari pada aspek prosedural,” katanya.
Hasil keputusan konperensi pers memutuskan, terkait pasal 104 perlu kiranya agar dilakukan beberapa hal sebagai berikut :
1. Menghapus keberadaan pasal 104, agar pelaksanaan pasal 16 dapat dilakukan secara otomatis segera setelah ditanda tanganinya Perpres 82/2018.
2. Mendorong BPJS agar segera melakukan sosialisasi terkait Perpres 82, agar terjadi kesamaan persepsi.
3. Sepenuhnya mendahulukan kepentingan terbaik anak dalam menangani permasalahan yang terkait kesehatan anak, mengingat anak adalah generasi penerus kita semua.
(Tim Media FSPKEP SPSI/Zaky) ***
KPAI, FSPKEP SPSI dan BPJS Watch Minta Presiden Evaluasi Perpres JKN Bayi Baru Lahir
Reviewed by PC SPKEP SPSI BEKASI
on
October 19, 2018
Rating:
No comments: